Sejarah Masuknya Padi di Pesisir Tanah Papua
Padi di Muyu, Merauke, 1930-an
Artikel ini akan mengulas bagaimana sejarah hadirnya padi di tanah Papua, dengan bukti-bukti tertulis, informasi lisan, tinggalan bahasa, maupun dokumen foto memberikan pepamahan kepada kita bahwa padi telah hadir lama di tanah Papua.
HISTORI BERAS DI PAPUA
Tidak begitu jelas kapan persisnya padi masuk di Papua. Namun, sebagaimana catatan di atas seperti wilayah Doreri Manokwari dan Amberbaken kemungkinan sudah ada jejak pada sekitar abad ke - 16.
Masyarakat pesisir Doreri, Manokwari sudah mengkonsumsi beras pada tahun 1700-an. Ini dapat terlihat dari catatan penjelajah Inggris bernama Thomas Forres pada 1775. Merujuk pada Kumpulan Kata Bahasa Numfor (Wos Numfor) catatan Forrest disana tercatat nama “Bira” yang berarti Beras dalam bahasa yang kemungkinan merupakan bahasa Tidore-Halmahera. Bukti-bukti tertulis mengenai padi di tanah Papua paling banyak didata pada tahun 1800-an. Selain Amberkan, Manokwari, padi juga ditanam di kepulauan Raja Ampat.
“Padi ditanam di Jef Bi dekat Waigama dan di daerah pesisir Waigeo Timur dan Barat, ditanam di tanah kering dan kebanyakan adalah sejenis beras ketan (Oryza glutinosa). Untuk padi, mereka mungkin hanya meminjam satu kata, dari bahasa Numfor yaitu Fas. Kecuali di pesta pernikahan atau pesta lainnya, tidak ada beras untuk dikonsumsi dan hasil panen terutama disajikan sebagai hadiah untuk pemimpin (kepala)”. Tulis De Clerq, dalam De west- en Noordkust van Nederlandsch Niuew-Guinea (1893), hlm.189.
Selain tanaman padi yang diproduksi di beberapa tempat di Papua, beras juga dipasok dari para pedagang Seram, pedagang Makasar, pedagang Arab, dan pedagang China. Dalam catatan Dr. W. R. Baron dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indië, 1876, ia mencatat tentang kontak dagang antara orang Seram Laut dan orang Papua (Raja Ampat dan Fakfak) yang melakukan barter. Orang-orang dari kepulauan Raja Ampat dan Fakfak menyediakan “kulit kayu Masoi, burung Cenderawasih, Mutiara, Tripang, dll”. Sebaliknya, orang Seram Laut menukarnya dengan “Beras, Kopi, Arak, Tembakau, Besi, dsb”.
Alat penumbuk padi atau gandum disebut "ADAF" dalam bahasa Biak. Ada salah satu jenis penumbuk padi yang disebut "ADAF SONGGER" di ujungnya terdapat lekukan yang di dalamnya terdapat batu. Gemuruh padi dan millet membuat batu ini naik turun, menimbulkan suara atau bunyi-bunyian.
Kemudian meskipun penyebarannya secara progresif cukup mencolok di beberapa wilayah pesisir tanah Papua. Tetapi, belum menjadi kebutuhan pokok prioritas orang Papua. Karena selain sulit didapat, juga sangat mahal dan terutama kosumsi sagu (papeda), ubir jalar (petatas), singkong (kasbi), keladi masih menjadi makanan pokok kehidupan masyarakat Papua sehari-hari.
Menjelang tahun 1900-an, konsumsi beras mulai meningkat. Sejak masa pemerintahan Belanda, Jepang, sampai masa Pemerintahan Indonesia, pasokan beras terus berdatangan dari tempat-tempat penghasil padi. Generasi-generasi baru sudah menganggap makanan pokok utama mereka adalah nasi.
Dr. F. C. Kamma, menguraikan bahwa Orang Numfor Doreri, mendapat Padi dari Halmahera Maluku. “Orang Numfor bertemu dengan penduduk ini dalam pelayaran mereka ke Tidore dengan cara yang sudah kita ketahui, yaitu melalui seekor anjing. Kepada orang-orang itu mereka berikan beras dan barang-barang dari besi. Padi tersebut ditanam di ladang, dan untuk ini tanahnya ternyata cocok sekali. Di kemudian hari orang-orang Numfor mempertukarkan alat-alat besi yang mereka tempa dengan beras.” Tulisnya.
Orang-orang Papua pesisir suku Biak-Numfor menyebut padi atau beras “Fas” atau “Bira” dua kata ini juga digunakan oleh orang Maluku (Tidore, Ternate, sbg). Hubungan antara orang Amberbaken dan orang Doreri seperti marga Rumfabe, Rumsayor, Rumbruren, Burwos dengan penduduk setempat sudah ada sejak lama. Seperti telah diuraikan di atas bahwa Amberbaken merupakan tempat penghasil padi di masa itu bahkan musim-musim pacek-lik di Maluku, dilaporkan bahwa perahu-perahu dari Halmahera datang ke Amberbaken untuk mengambil beras. Apakah orang Halmehera kekurangan beras? Sehingga mereka harus jauh-jauh datang ke Papua?
Nah, rupanya di Maluku khususnya Ternate dan wilayah sekitarnya produksi padi tidak banyak, sehingga tidak mencukupi kebutahan orang Halmahera belum lagi masalah ekonomi yang terjadi di sana. Pada tahun 1800-an, Pieter Bleeker (1819-1870) yang merupakan seorang Dokter dan ahli ikan Hindia Belanda, menulis tentang keadaan yang terjadi di Ternate bahwa di pulau Ternate masyarakat di sana ‘dibebani dengan beban yang harus ditanggungnya yaitu untuk menghidupi sultan berserta keluarganya. Banyak keluarga di sana tidak mampu melakukan ini, akhirnya dari Halmahera, Bacan, Sula, dan lainya harus ikut membantu. Dan para pekerja didesak menjadi pelayan tanpa imbalan, kemudian kebutuhan makanan pokok seperi beras, sagu, pala, dan sebagainya sangat mahal, karena barang-barang tersebut di monopoli oleh sultan dan para pangeran… orang-orang Ternate juga suka menanam buah-buahan, pohon sagu dan ‘sedikit padi… bahkan tidak cukup untuk kebutuhan penduduk kecil’. (Bleeker, 1856:186, 1999) Mungkin inilah yang menjadi alasan utama mengapa orang Halmahera, Tidore/Ternate harus berlayar sampai ke Amberbaken untuk memperoleh beras.
Memasuki abad ke-20, masih pada dinasti Belanda, padi mulai ditanam di beberapa tempat. Misalnya sejak tahun 1908, Padi mulai ditanam di Merauke oleh beberapa orang Jawa yang tinggal di sana, kemudian disusul pula orang Timor pada tahun 1909 juga ikut menanam padi sawah. Hingga tahun 1916, komunitas orang Jawa yang bermigrasi dari Jawa pun bertambah. Tahun-tahun berikutnya, penduduk asli juga ikut menanam padi sawah. Banyak dokumentasi orang Belanda memperlihatkan potret penduduk asli ikut menanam padi dan memanennya.
Penanaman padi sawah di Merauke terus berjalan hingga tahun-tahun setelahnya. Impor beras di Papua meningkat pesat khususnya pada wilayah pesisir tanah Papua, pasar-pasar tradisional di Papua sudah menjual beras dengan harga yang sangat mahal. Di pasar Bosnik, Biak Timur misalnya, para pedagang Tiongkok (China) pada tahun 1900-1920-an, sudah menyediakan beras untuk dijual dengan harga f0.20-f0.30 gulden per K.G. dan kebanyakan masyarakat setempat menukarnya dengan getah damar yang masyarakat setempat menyebutnya kessi. Dan setiap tahunnya impor beras diperkirakan mencapai f100.000 gulden pertahun. (De Bruyn, 1920:179)
Belakangan Pemerintah Belanda memulai proyek besar. Mereka mendirikan Perusahaan Padi Kumbe yang dalam bahasa Belanda disebut “Koembe Rijstproject” yang persiapannya dimulai sejak tahun 1951-1953 dengan dukungan biaya dari MME (Masyarakat Ekonomi Eropa). Proyek tersebut menggelontarkan dana sebesar 47 juta gulden dengan luas lahan 5000 Hektar. Yang nantinya bisa mencukupi kebutuhan beras di seluruh Nederlands Nieuw Guinea (Nugini Belanda).
Penanaman Padi di Merauke unik, sebab berbeda seperti padi gogos atau beras ketan yang di tanam masa lalu di Manokwari, Amberbaken, dan Raja Ampat. Di Merauke mereka nenamam padi sawah dalam jumlah yang besar dan berhektar-hektar lahannya. Ini membuat Merauke menjadi lumbung pangan pada masa pemerintahan Belanda. Sampai saat ini, abad ke-21, Merauke masih menjadi tempat penghasil beras dan produksinya sudah mencapai berton-ton beras.
Pada masa "Netherlands Indies Civil Administration" atau yang disingkat NICA pada tahun 1950-an, di beberapa tempat di Papua padi dikembangkan. Di pulau Yapen (Serui), Bagaisewar (Sarmi), Fakfak, Manokwari (Ransiki) padi ditanam di sana. Di Manokwari setiap tahun diadakan pameran, dimana mereka memamerkan berbagai hasil pertanian termasuk salah satunya adalah beras.
Bulir-bulir padi yang menguning dari masa ke masa, menjadi sebuah capaian yang luar biasa di atas tanah orang Papua. Sejarah hadirnya beras atau padi dalam kehidupan orang Papua di beberapa wilayah sudah ada ratusan tahun. Catatan tertulis mengenai konsumsi padi menunjukkan bahwa masyarakat Papua sudah mengkonsumsinya sejak tahun 1700-1950-an. Boleh dikatakan, kehadiran beras di tanah Papua telah merubah pola makan orang Papua, sehingga tidak heran jika beras merupakan makanan pokok orang Papua di abad ke-21 ini. Semoga penanaman padi terus digalakan oleh generasi petani modern orang Papua dan tidak meninggalkan manakan lokal khas tanah Papua.
Posting Komentar untuk "Sejarah Masuknya Padi di Pesisir Tanah Papua"