Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perdagangan Ambergris Oleh Orang Papua di Masa Lalu

    

IKAN PAUS
Sumber: KILV

DOKUMENTASI FOTO IKAN PAUS BERUKURAN 22 METER DI KAMPUNG MENAWI, SAWERU TAHUN 1917. Tuan W.K.H. Ypes adalah Assistent-Resident, Afdeling Noord-Nieuw-Guinea (Manokwari) sejak bulan Mei 1914. Sebelumnya Ypes menjadi controleur di Afdeling Tanjungpinang.


SEPERTI pada potret diatas, tampak ikan Paus berukuran 22 meter, disebelahnya potret masyarakat Papua, dari kampung Menawi, Saweru, dengan perahu Wa Baba (Wairon). Terlihat juga beberapa tentara KNIL, dan tuan W. K. H. Ypes yang merupakan Assistent-Resident Afdeling Noord-Nieuw-Guinea, ketika itu ikut bersama berpose.

102 TAHUN KEMUDIAN, IKAN PAUS UKURAN RAKSASA DITEMUKAN LAGI DI KEPULAUAN YAPEN

Sejak tahun 1917, 102 tahun kemudian, tepatnya 04 November 2019, ikan paus berukuran 12 meter ditemukan terjebak di kali Warior, Ambai, kepulauan Yapen. Warga digemparkan dengan ikan Paus raksasa yang terjebak dan ditemukan luka bagian ekor ikan tersebut. 

Masyarakat Ambai telah berupaya untuk menyelamatkan dan memindahkan paus tersebut ke laut lepas.  Sayangnya, upaya yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil, beberapa hari setelahnya, ikan tersebut akhirnya mati. Cerita tutur dan catatan tertulis saling melengkapi sebuah informasi historis masa lalu, bahwa kepulauan Yapen di masa lalu, menjadi tempat yang sering dimasuki oleh Paus Sperma, dan sering terdampar di sana. Dan ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat kepulauan Yapen untuk mengambil ambergris. 

KOMODITAS DI KEPULAUAN YAPEN PADA MASA LALU 

Perdagangan ambergris dan cerita dibalik ikan paus, telah menjadi sebuah histori orang Papua di masa lalu. Kepulauan Yapen menyimpan sejuta cerita leluhur, konon pulau ini menjadi bandar niaga dari berbagai suku di teluk Cenderawasih, saling barter antara sesama orang Papua, maupun pedagang-pedagang lainnya.    

Di masa lalu ikan paus sering terdampar di kepulauan Yapen, selain itu para nelayan jaman dulu juga sering mencari ikan Paus, untuk mendapatkan Ambergris yang bernilai tinggi. Kepulauan Yapen, merupakan tempat yang sering dilayari orang-orang Teluk Cenderawasih untuk mencari Ambegris maupun komoditas berharga lainnya. Ambergris merupakan salah satu komoditas mahal pada jaman dulu. 

PERDAGANGAN AMBERGRIS ORANG PAPUA

Ambergris sendiri merupakan zat lilin yang berasal dari usus paus (paus sperma, kotaklema). Ambergris yang berasal dari usus paus ini, kerap digunakan dalam industri obat dan parfum. Batu ambar ini juga memiliki harga yang sangat mahal. Karena komoditi ini sangat berharga di zaman dulu, ini menjadi bisnis yang cukup menggiurkan. 

Pada masa Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan pengganti Sultan Hamzah Fahruddin, di kesultanan Tidore terjadi pemberontakan pada 1716. Di masa pemerintahan Sultan Amir, kesultanan Tidore mengalami gejolak sebab terjadi pemberontakan-pemberontakan. Hal ini terjadi karena Sultan mengharuskan rakyatnya memberikan upeti berupa ambergris. Masyarakat yang berasal dari Weda, Patani, Maba, Bicoli, dan Gebe diharuskan menyediakan "ambar". 

Karena ambergris ini sangat sulit untuk diperoleh sehingga mereka menentang kewajiban tersebut dengan mengatakan "Kami siap dibunuh, sebab mustahil bisa memperoleh ambar" (Lihat M. Adnan Amal, 2016: 83).    

Sultan Amir bekerja sama dengan VOC untuk membantunya memadamkan pemberontakan dari negeri-negeri yang menentangnya. 
Kewajiban membayar upeti kepada kesultanan Tidore tidak hanya dibebankan kepada masyarakat Maluku saja seperti yang disebutkan di atas, masyarakat Papua juga diminta untuk memberikan upeti serupa yakni Ambergris. Dan, ini terlihat jelas pada tahun 1730 ketika Pasukan VOC dan tentara Kerajaan Tidore melakukan pelayaran hongi menuju tanah Papua ke berbagai kampung-kampung di pesisir tanah Papua untuk menuntut upeti. Yang kemudian, ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Biak dari Kampung Saba dan beberapa kampung lainnya di Papua.  

Masyarakat di kepulauan Biak pada masa itu, suka mencari Ambergris dan barang dagangan lainnya untuk diperdagangkan di Maluku dan negeri-negeri lainnya.   

Masyarakat Saireri, seperti orang Biak-Numfor, Wandamen, Waropen, dan khususnya masyarakat dari kepualuan Yapen di masa lalusering melakukan kontak dagang dengan para pedagang untuk melakukan barter dengan para pedagang. Mengenai perdagangan ambergris di teluk Saireri telah dicatat oleh sejumlah para penjelajah dan sejarawan. Seorang navigator asal Inggris, Thomas Forrest mencatat komoditi orang Papua pada 1775. 

Dalam laporannya, ia menulis bahwa orang Papua diteluk Cenderawasih, Papua melakukan barter dengan pedagang China. Komoditi yang dibarter  dengan pedagang China adalah "Ambergris, Kulit Masoi, teripang, kulit penyu, mutiara, burung Luri hitam, Luri Merah Besar, Cenderawasih" maupun komoditi lainnya.Forrest, 1779:106.

Ini juga dikuatkan oleh penulis lain, "Kepulauan Papua, yang sebagian besar memasok ambergris, cairan dari paus sperma, yang ditemukan dalam jumlah besar di sepanjang pantai."―Tulis Anthony van Otterloo dalam  Leerboek der Algemeene Aardrijkskunde (1868), hlm. 275. 

Dan, menurut Douwes Teenstra (1795-1864) bahwa "ambergris terbaik ditemukan di lautan [Papua]". (Teenstra, 1846). 

Hal ini dikuatkan juga dengan adanya cerita lisan orang Papua misalnya, pelaut dari kepulauan Biak sekitar tahun 1700-an, mereka berlayar mencari "ambergris" sampai di kepulauan Yapen, ambergris ini mereka sebut dengan istilah "ambar". 

BATU AMBERGRIS
Batu Ambergris dari usus Paus Sperma, 1758 
Tak heran, beberapa pedagang China menetap di pulau ini, dan mengawini perempuan Serui, beranak pinak dan turunan-turunan mereka sampai hari masih bisa ditemukan di kota Serui. Jika Anda pertama kali datang ke Papua, Anda akan terkejut mendengar istilah "PERANCIS" yang berarti "Peranakan Cina Serui". Beberapa turunan Cina-Serui (Papua) ini tersebar di beberapa wilayah tanah Papua.   

Data-data tertulis memperlihatkan bahwa tahun 1500 sampai 1800-an, perdagangan ambergris sudah ada. Kemungkinan orang-orang Teluk Cenderawasih telah berdagang ambergris jauh di atas tahun 1500-an. 

Orang Teluk Cenderawasih sendiri menggunakan Ambergris sebagai bahan bakar pelita, obor atau sebagai benda penerang. Selain itu, ambergris juga diperdagangkan dengan para pedagang dari luar Papua. Laporan-laporan penggunaan minyak ikan Paus ini terekam dalam cerita-cerita tutur orang teluk Saireri.

Orang Ambai (Yapen) menyebut ikan Paus Sperma dalam bahasa Ambai Saro?, Orang Ansus (Asua Yapen) menyebutnya Aroi, orang Biak Numfor menyebutnya Insaroi (Saro, Saroi). Ikan berukuran raksasa ini kerap juga dianggap sebagai hantu laut pada malam hari. Penyebutan nama ikan paus dalam beberapa bahasa daerah di atas sama. Ini menunjukkan bahwa pada masa lalu, penggunakan nama "Saro, Aroi" terkenal di wilayah teluk Cenderawasih.  


Catatan Tambahan: Penggunaan istilah nama "Saroi" tidak saja digunakan untuk menyebut ikan paus sperma, tapi nama ini juga digunakan sebagai nama marga atau keret misalnya, keret "Saroi" dari suku besar Arfak, Manokwari. Ada juga marga Saroi, dari keret Kai (orang Waropen)

Posting Komentar untuk "Perdagangan Ambergris Oleh Orang Papua di Masa Lalu"