SUKU Biak merupakan salah satu dari 225 suku di tanah Papua, yang mana sejak lampau telah berbaur dengan suku-suku bangsa Papua lainnya. Suku bangsa ini, telah menoreh kisah-kisah sejarah masa lalu mereka, hingga kini suku bangsa Biak, masih tetap mempertahankan suku bangsa mereka di bumi Cenderawasih. Migrasi suku bangsa Biak (Byak) termasuk sangat luas, turunan mereka banyak tersebar di pulau-pulau terluar New Guinea bahkan di penjuru perbatasan negara lain. Eksistensi mereka di zaman lampau dalam mengarungi lautan yang begitu luas; telah membuka jalan untuk menyebar dan mencari kehidupan yang sejati.
Suku Biak juga terbagi ke dalam beberapa sub suku yaitu Er Padaido (Anobo), Masen (Suku Laut), Fairyo, Byak, Samber, Manwor, Mnuwar (Swandiwe), Wombonda, Poiru. Adapun kesepuluh dialek tersebut adalah, dialek Samber, Wadibu, Sorido, Manwor, Sowek, Sopen, Wombonda atau Sawias, Umbor, Numfor, dan Mokmer (Steinhauer, 1985:464, 483)
Asal usul suku bangsa Biak tidak terlepas dari suku-suku lain yang mendiami tanah New Guinea—Papua, mengingat ada hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan sesama suku orang Papua. Mengapa demikian? Karena kita bisa menelusurinya melalui adat-istiadat, pola hunian, makanan, pola hidup, bahasa yang saling berkaitan dan kehidupan sosial orang-orang Papua itu sendiri. Memang, kita tidak mengetahui secara pasti dan detail asal usul suku bangsa Biak, tetapi kita bisa menggunakan berbagai kemungkinan-kemungkinan dari berbagai sumber untuk menelusuri jejak asal usul suku Biak. Salah satunya adalah melalui cerita tutur lisan turun temurun, baik dari suku Biak sendiri maupun suku-suku lain di Papua khususnya suku-suku yang menempati daerah pesisir, juga melalui garis keturunan atau Silsilah Keluarga, tulisan Piktografi, Etnografi dan melalui berbagai kajian ilmiah.
Suku Biak atau Er Byak terdiri dari banyak marga (klen, fam) yang terus berkembang dan tersebar di pulau Biak, Supiori, Numfor, kepulauan Padaido, Yapen Utara, Kumamba, Manokwari, Wondama (Wandamen) (pulau Roon, Roswar dan Dusner), Raja Ampat (Waigeo Utara, Batanta, Meos Kapal, pulau Pambemuk, kepulauan Kofiau, pulau Yefman, kepulauan Ayau, pulau Dom), Saokorem, Sausapor, Mega, dan Fakfak? Serta tempat-tempat diseluruh tanah Papua bahkan di luar tanah Papua-Maluku (Halmahera, Tobelo, Seram, dsb).
TERBENTUKNYA SUKU BANGSA BIAK
Pengertian ”Bangsa” atau ”Suku, ras” dalam bahasa Biak disebut ER, sedangkan marga (klen) disebut ”KERET”. Pada perkembangannya Er merujuk kepada ”Bangsa”, “Negara”, “Suku”, “Marga” dapat juga memaksudkan ”Turunan”. Selain itu Er juga memaksudkan ruang dengan atap ditengah perahu besar (Erbo), tempat duduk keluarga (kina, sim). Lihat Spenyel Korwa, Kamus Dasar Biak-Indonesia, hal. 32, 2007.
Istilah “ER”` maupun “KERET” sebenarnya berasal dari sebuah bentuk kata dasar “RER” yang kemudian disingkat menjadi “ER” secara harfiah berarti “berganti”, ”berubah”, membentuk sesuatu “yang baru”. Rer bisa terjadi karena adanya sebuah siklus kehidupan manusia. Sebuah syos (turunan) bisa ada karena terjadi suatu proses ”RER” yang baru. Untuk menghasilkan sebuah rer yang kemudian menjadi er atau syos (turunan), harus terjadi perkawinan (farbakbuk) antara pria dan wanita yang terikat dalam pernikahan adat munara farbakbuk (fakawin) yang kemudian menghasilkan rer atau pengganti; turunan romawa ma inai (anak laki-laki atau anak perempuan) melalui ok farbakbuk (hubungan seks) antara suami istri. Jika imbeswa (pasangan suami istri) memiliki romawa status kehidupan mereka akan berganti sebagai kma dan sna peranan sebagai ayah dan ibu dan mereka akan menjadi kina atau sim (sebagai satu keluarga).
Biasanya, kata rer ini dipakai juga pada seekor ular atau binatang lain yang mengganti kulit lamanya dengan kulit yang baru. Padanannya adalah jika seorang Pria atau Bapak memiliki seorang anak laki-laki, maka anak itu merupakan pengganti dari ayahnya (rer ro kmari), atau pengganti dari sang ayah kata ini pun terus berkembang yang sampai sekarang kita kenal sebagai keret atau marga (klen, fam). Dengan berkembangnya Kina/Sim menjadi lebih besar maka tercipta pula sistim-sistim perkawinan, kekerabatan, dan system aturan adat yang akan digunakan sebagai patokan atau norma yang berlaku dalam m’nu, bar-mun, kadibar yang secara umum di terima sebagai rari Byak (hukum adat istiadat) dalam suku, kelompok suku, marga, dan keluarga Biak. Sistem Kekerabatan (Ḇaḇekaryer) seperti: Aup, Up, Akak, Apus-Apum, Sinan, Kamam, Awin (Sna Kasun, Sna Beba), Inai, Roma, Napirman, Rifyo (Rifyobin/Snon), Swa (Kyai), Bedar, Naek (Namek), Srar (Manbesrar, Binbesrar, Eba, Kasun (Beknik), Karyer, Komin. Babak baru awal abad ke-19, menandai perubahan besar dalam penulisan karya ilmiah tentang suku Biak baik orang Biak rantauan maupun orang Biak yang berada di pulau Biak, Supiori dan Numfor-Doreri (Manokwari) dimana merupakan tempat penyebaran utama suku bangsa Biak-Numfor. Upaya yang dikerahkan oleh para penulis orang Eropa mendatangkan manfaat bagi generasi berikutnya. Mesin cetak teknologi Eropa pun telah dimanfaatkan untuk kebutuhan penulisan historikal sejarah. Ini memberikan dampak positif bagi penulis-penulis sejarah.
Penulis-penulis bangsa Eropa telah memainkan peran penting dalam kemajuan literasi sejarah suku bangsa Biak selama berabad-abad. Penulis-penulis ternama seperti Thomas Forrest (1729-1802), d'Urville (1790-1842), R. P. Lesson (1794 - 1849), A. R. Wallace (1823-1913), J. L. Van Hasselt (1839-1930), W. L. Jens (18-1913), F. J. F. Van Hasselt (1870-), F. J. Jens (1889-1943), Feuilletau de Bruyn (1886-1872), De Clercq (1842-1906), Dr. F. C. Kamma (1906-1987), A. Haga (), dan masih banyak lagi penulis yang tidak disebutkan namanya. Sejak 1700-1900-an, mereka telah menaruh minat yang dalam tentang sejarah suku bangsa Biak, baik secara linguistik, etnografi dan antropologi. Secara khusus penulisan sejarah mengenai marga-marga suku Biak tidaklah banyak sehingga literasi yang membahas tentang marga sulit sekali didapatkan. De Clerq, De Bryun, F. C Kamma merupakan beberapa diantara banyaknya sejarawan yang menelusuri secara khusus tentang keberadaan suku keret keret pada masyarakat Biak Numfor atau yang kita kenal sebagai ’orang Byak’. Tentang geneologi dan marga misalnya, F. C. Kamma menulis beberapa keret-keret pada orang Numfor-Doreri.
Beberapa penulis orang Biak yang telah berhasil menulis buku tentang sejarah dan keret orang Biak seperti Dr. Johszua Robert Mansoben (Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, 1995), Dr. Albert Rumbekwan (Kehidupan Orang Laut di Kampung Sowek Distrik Kepulauan Aruri, 2018), Malex Kmur (Senja Kelabu di Krisdori, 2016), Dr. Hendrikus Arwam (Sejarah Keret Arwam, 2019), Dr. Festus Simbiak (Riwayat Singkat Moyang-Moyang Setiap Marga di Kampung Sanumi, 2020, Kampungku Sanumi, 2021), dan lainya.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh para pemerhati ini patut di apresiasi sebab mereka telah berusaha untuk mencatat kembali kisah-kisah tutur atau sejarah keret. Jika, semua keret suku Biak mencatat setiap sejarah sukunya, ini akan membantu pelacakan garis silsilah setiap keret dan hubungan-hubungan kekerabatan antara keret yang satu dengan keret yang lain.
Posting Komentar untuk "Sejarah Keret Suku Biak Perlu di Dokumentasikan"