Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengetahuan Astronomi Masyarakat Jawa di Zaman Lampau


PENDOKUMENTASIAN SISTEM PENANGGALAN PRANATA MANGSA

Selama berabad-abad orang Jawa telah mengembangkan sains di bidang astronomi berdasarkan pengetahun lokal mereka di pulau Jawa. Leluhur masyarakat Jawa selama ribuan tahun lamanya telah mempelajari berbagai pergerakan bintang, cara kerja alam, matahari, pasang surut air, sungai dan benda-benda langit dalam melakukan aktifitas hari-hari mereka. Ilmu bintang ini dipelajari agar menjadi petunjuk dalam melakukan berbagai hal seperti bertani, kelautan, beternak, berlayar, ritual agama, bencana alam dan hal-hal aktifitas sosial mereka. 

Petani Jawa 1916


Sayangnya, selama berabad-abad tidak ada tinggalan catatan tertulis yang mendetail tentang sistem penanggalan tradisional kebudayaan masyarakat Jawa tersebut. Semua itu dipelajari dari generasi ke generasi melalui petunjuk langsung di lapangan dan diajarkan secara lisan dari mulut ke mulut (oral).  Sistem penanggalan tradisional ini kemungkinan sudah dimiliki oleh leluhur orang Jawa  sekitar 2.500 tahun yang lalu (500 SM), dimana pada masa itu terdapat bukti pertanian padi di jawa dan Bali. Padi menjadi bagian penting dari sistem penanggalan Jawa. Jadi, sistem Pranata Mangsa sangat erat kaitan dengan tanaman padi. 


Seorang Pria Tua Petani Jawa 1916

Kemungkinan, ada banyak sekali pengetahuan tradisional Jawa yang telah hilang jejaknya. Mungkin ini yang disadari betul oleh Sri Susuhunan Pakubuwana VII (1796-1858) di Soerakarta. Ia menyadari pentingnya pendokumentasian pengetahuan astronomi bangsa Jawa agar tidak mengalami kepunahan.  Harapannya dengan mencatat Pranata Mangsa ini akan menjadi bekal di masa depan bagi generasi mendatang masyarakat Jawa. Tidak heran dengan sahabat dekatnya sang pujangga sastra ternama Ranggawarsita, keduanya melopori pembuatan pranata mangsa.  Di kutip dari buku Jawa Tengah Selayang Pandang (1981) bahwa Sri Suhunan ke VII kemudian merilis pranata mangsa tersebut di “Surakata pada tanggal 22 Juni 1855, sebagai pedoman dalam bercocok tanam (padi, palawija terutama).” 

Inisiatif dari sang Tokoh Pakubuwana VII ini sangat bermanfaat di masa kini, karena dengan pendokumentasian generasi Jawa masih dapat mengakses informasi tentang sistem kalender tradisonal orang Jawa. Pengetahuan mendalam mereka tentang Astronomi dapat terlihat dari sebutan-sebutan bagi seorang astronom Jawa dengan beberapa istilah seperti Ahlul Kalam (ilmu perbintangan jawa), dan beberapa istilah lainnya. Mereka yang ahli dibidang ini memiliki pengetahuan lokal yang luar biasa, sehingga mereka menjadi sumber referensi berjalan bagi kalangan masyarakat di masa lalu. 

PRANATA MANGSA (KAWRUH PRANATA MANGSA)

Pranata berarti peraturan atau ketentuan dan mangsa berarti musim. Jadi, Pranata Mangsa adalah sebuah sistem perhitungan musim menurut ketentuan-ketentuan yang terjadwal melalui waktu tanam. Dalam kalender tradisional masyarakat Jawa, tahun dibagi menjadi 12 musim. Setiap musim ini periode waktunya tidak sama. Masyarakat Jawa memiliki sistem pembagian waktu ke dalam 12  mangsa (musim) yang berpatokan pada peredaran matahari (surya) dan pergerakan bintang Orion atau yang dalam bahasa Jawa disebut Waluku. Sistem penanggalan tradisional ini mereka sebut sebagai “Pranata Mangsa”. 


Pranata Mangsa ini menjadi semacam kalender kerja ketika memulai perencanaan berladang, digunakan dalam arsitektur vernakuler, pelayaran laut, waktu kawin dan lain sebagainya. Berikut adalah 12 musim penanggalan Jawa. 

Dokumentasi H. A. Van Hien, 1906

1. Kasa: lamanya 41 hari, periode ini dimulai dari 22 Juni

2. Karo atau Kalih: lamanya 23 hari

3. Katelu atau Katiga: lamanya24 hari

4. Kapat atau Kasakawan: lamanya25 hari

5. Kalima atau Gangsal: lamanya 27 hari

6. Kanem: lamanya 43 hari

7. Kapitu: lamanya 43 hari

8. Kawulu: lamanya 26-27 hari

9. Kasanga: lamanya 25 hari

10. Kasapuluh atau Kasadasa: lamanya 24 hari

11. Desta: lamanya 23 hari

12. Sadha: lamanya 41 hari


Bagaimana cara kerja sistem mangsa ini? 

“Permulaan setiap mangsa baru ditentukan dengan mengamati panjang bayangan orang yang berdiri - diukur dengan kakinya sendiri, misalnya pada mangsa Kasa pada siang hari 4 kaki, pada jam 4 11 kaki, pada mangsa Karo pada jam yang sama masing-masing 3 dan 11 kaki, dll. atau dari sebuah tongkat yang dipasang tegak lurus pada bidang horizontal, pada bidang tersebut garis bayangan siang ditandai secara akurat dan selanjutnya dibagi menjadi 6 bagian yang sama. Karena bayangan sore melewati garis ini dua kali setahun dari Utara ke Selatan dan sebaliknya, garis tersebut terbagi menjadi 12 bagian berbeda dan dengan demikian menunjukkan pembagian tahun menjadi 12 mangsa.” Tulis H. A. Van Hien dalam De Javaansche geestenwereld en de Betrekking, die Tusschen de Geesten en De zinnelijke Wereld Bestaat (1906), hal. 162. 

Ke-12 mangsa yang terdiri dari Kasa hingga Sadha terbagi lagi menjadi 4 periode musim yakni Mangsa Ketiga (musim kemarau), Mangsa Labuh (musim semi), Mangsa Rendeng (musim hujan) dan Mangsa Trenceng. 

Selain kalender musim ini, masyarakat Jawa juga mengenal nama-nama bintang dalam bahasa Jawa. Misalnya, Sapi-gumarang, Tagih, Lumbung, Jaran-dhawuk, Banyak-angrem, Gotong-bajit, Bisma-Sekti (Bima Sakti), Wulanjar Ngirim, Wuluh, Waluku, Lumbung dan Tagih. Setiap bintang ini berkoneksi langsung dengan ke-12 mangsa  yang memiliki setiap jumlah periodenisasi waktu. 

Posting Komentar untuk "Pengetahuan Astronomi Masyarakat Jawa di Zaman Lampau"